Konsumsi bahan bakar minyak khususnya jenis premium di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Banyaknya anggota masyarakat Indonesia yang konon katanya sedang dilanda krisis ekonomi dan harus melakukan penghematan penggunaan keuangan ternyata tidak banyak berpengaruh pada sektor transportasi, yakni pemakaian kendaraan bermotor dan mobil tetap saja bertambah banyak. Hal itu terlihat dari padatnya jalan raya di berbagai sudut kota.
Kendaraan bermotor dan mobil tentunya tidak dapat bergerak tanpa adanya BBM untuk menjalankan mesin. Proses bergerak atau hidupnya kendaraan sangat tergantung oleh BBM.. Sementara kelangkaan BBM baik premium, solar yang banyak dikonsumsi masyarakat kelas menengah ini sangat besar pengaruhnya pada sektor ekonomi. Kebutuhan pokok masyarakat perkotaan menjadi mahal dan terlambat pengirimannya dari daerah akibat dari tidak mudah dan mahalnya BBM. Memang harus diakui harga BBM sangat tergantung dari harga minyak mentah dunia yang fluktuasi kadang-kadang tidak menentu.
Srikandi Indonesia Erliana Ginting dan Titik Sundari dari Pascapanen dan Pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang Departemen Pertanian beberapa waktu lalu berhasil melakukan riset dan uji coba pembuatan biofuel dalam hal ini etanol untuk mensubstitusi bahan bakar minyak khususnya premium atau bensin.
Bahan bakar minyak alami yang disebut biofuel yang dalam hal ini etanol dibuat khusus untuk mensubstitusi bahan bakar minyak khususnya premium. Pembuatan biofuel tidak memerlukan teknologi tinggi maupun peralatan canggih seperti halnya dalam memproduksi BBM dari minyak mentah. Bahkan usaha kecil perseorangan pun dapat melakukan proses produksi sendiri. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanyalah sebuah sikap dari produsen yang dituntut melakukannya dengan tekun. Uniknya dari keunggulan hasil pengolahan biofuel tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sebuah campur dari BBM sebesar 5 hingga 10 persen.
Menurut Erliana Ginting dan Titik Sundari cara membuat biofuel adalah ubi kayu atau singkong yang segar dikupas kulitnya, lalu dicuci bersih dan kemudian diparut. Tahap selanjutnya dilakukan likuifikasi atau penambahan enzim amylase, dan dipanaskan dengan tungku atau kompor hingga suhu 90 derajat Celsius dalam tempo waktu 30 menit sambil terus diaduk.

Proses selanjutnya bubur ubi tersebut didinginkan, dan disakarifikasi atau istilah lain ditambahkan enzim glukoamilase dan dipanaskan lagi hingga suhu 60 derajat Celsius selama kurang lebih 2 jam. Tahap seterusnya pada suhu 32 derajat Celsius dan selanjutnya dilakukan peragian. Proses fermentasi dilakukan dalam sebuah ruang atau kamar selama 72 jam. Dari sini selanjutnya dilakukan proses penyulingan, dengan pemanasan minimum 80 derajat Celsius. Hasilnya tidak mengecewakan karena ethanol yang buat tersebut mempunyai kadar 96 persen.
Menurutnya, agar supaya kadar ethanol yang dibuat tersebut dapat naik mencapai kadar sampai sebesar 99,5 persen dan bisa digunakan untuk substitusi premium, perlu didehidrasi dengan teknologi molecular sieve.
Industri Bio Etanol
Sementara itu, telah beroperasi pabrik pengolahan bioethanol berbasis usaha kecil menengah (UKM) di Desa Munggu, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, 26 Mei 2008 lalu. Pabrik itu dapat menghasilkan 3.000 liter bio-ethanol setiap harinya dengan menggunakan bahan baku tebu, jagung, dan singkong.
Ini tepat, karena Kebumen memang memiliki potensi yang cukup besar untuk bidang pertanian jagung. Setiap tahun jumlah panenan jagung di seluruh Kebumen menurut data Pemda setempat mencapai 27.000 ton, sedangkan untuk Kecamatan Petanahan sendiri berkisar 3.262 ton. Selain jagung, wilayah Kebumen bagian utara juga memiliki potensi pertanian singkong yang cukup luas. Semoga potensi pertanian tersebut dapat digarap dan dimanfaatkan secara benar untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.
( Disadur dari www.kompas.com )
*sumber : Media Poniman Center, Edisi 1/I/2009
No comments:
Post a Comment